HEIR & HEIRESS: Godsend (part 2)

Special Edition

HEIR & HEIRESS: Godsend (part 2)

 HEIR&HEIRESS GODSEND PART 2 POSTER

Cast: Oh Sehun x Yoon Haera (OC)

Short-Chaptered

Genre: Drama, Romance, Marriage Life

Rating: Semi Mature

SUMMARY:

Their (real) life has just begun

 


 

HAERA

Aku memegang hasil testpack yang menunjukkan dua garis merah bertanda positif itu dengan tangan bergetar. Bibirku terkunci rapat. Pikiranku mulai melayang entah kemana—berpikir ulang tentang kemungkinan mengapa ini bisa sampai terjadi, dan akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan.

Malam pernikahan kami yang pertama, sekitar sebulan yang lalu.

Hari itu kami terkontaminasi bergelas-gelas sampanye hingga tidak sadar telah melakukan hubungan tanpa pengaman.

Aku berusaha menelan ludah dengan susah payah.

Itu berada di luar rencana.

Lemas, aku terduduk di kursi tengah sambil memegang kepalaku dengan kedua tangan. Kupijit-pijitkan jari-jariku pelan di pelipis. Ini semua terlalu tiba-tiba. Kulirik ponsel yang tergeletak di meja tepat di sampingku. Semua pikiranku memusat pada satu orang.

Oh Sehun.

Aku harus mengabarinya. Aku harus memberitahunya tentang ini. Dia harus tahu.

Kuambil cepat ponselku, kutekan serangkaian angka yang sudah kuhafal di luar kepala dan menempelkan ponsel itu di telinga. Terdengar nada sambung beberapa kali. Aku mengetuk-ngetukkan jariku di meja dengan cemas, menunggu sampai sebuah suara yang amat kukenal menjawab.

Halo sayang.”

Ya Tuhan, suaranya lembut sekali. Aku mulai menimang-nimang semua kemungkinan, apakah aku benar-benar harus memberitahunya? Apakah ia harus benar-benar tahu? Apa aku sudah siap mendengar responnya?

“Sehunnie.” Bibirku bergetar saat mengucapkan namanya. Aku berusaha menguatkan diriku sendiri. Aku menarik kesimpulan dengan tegas. Tentu saja ia harus tahu.

Apa kau baik-baik saja?” Nada suaranya terdengar khawatir. Ia tahu. Ia selalu tahu disaat aku memang tidak baik-baik saja. Ia selalu tahu diriku. Aku hanya terdiam seribu bahasa. Mulutku terkatup lama, seperti terkunci. Tidak ada suara yang dapat keluar dari tenggorokanku.

Keheningan ini menggantung cukup lama. Cukup lama sampai dapat membuat kepalaku berputar hebat—dan akhirnya Sehun memanggilku lagi.

Haera?”

Aku kembali sadar disinilah tempatku berpijak, setelah pikiranku melanglang buana begitu jauh. Kuhirup nafas dalam-dalam.

Aku akan pulang sebentar lagi. Bersabarlah sedikit, oke? Urusanku sebentar lagi selesai.” Ia menambahkan lagi, seperti mencoba untuk menghiburku. Pandanganku mulai buram. Kurasa air mataku mulai turun satu persatu. Ya Tuhan.

“Sehun.” Aku memanggil namanya dengan suara lirih. “Maafkan aku.” Aku berusaha untuk menahan tangis. Tapi suaraku seperti tercekat, rasanya dadaku sesak sekali. Sial. Berhentilah bertingkah kekanakan begini, Haera. Aku memaki diriku sendiri.

Maksudmu?” Nada suara Sehun terdengar panik. “Kau baik-baik saja kan? Haera-ya? Jawab aku.” Ia kembali bersuara. Aku masih tidak bisa menjawab. Kepalaku masih pusing.

Kau tidak kenapa-kenapa kan?

“A-aku..” Suaraku kembali, mengucapkan sepatah kata untuk kembali terhenti di tengah jalan. Berusaha menguatkan diri sekali lagi untuk mengatakan berita mengejutkan ini. Ugh, mengapa aku merasa ini berat sekali untuk dikatakan.

Haera?

Kurasakan ritme nafasku mulai kembali teratur, ini saatnya mengungkapkan padanya.

Ini saatnya?

Ada apa denganmu?” Sehun terus mencecarku dengan pertanyaan yang sama.

“Aku..hamil.”

Saat mengucapkan kata-kata ini, aku tidak tahu apa yang kurasakan. Rasanya seperti mati rasa.

“Aku telat sebulan, Sehun. Dan yeah, aku mencoba mengetesnya memakai testpack. Hasilnya positif.” Mungkin suaraku sekarang sudah seperti kehilangan harapan.

Suara di seberang tiba-tiba hening, hanya ada suara nafas panjang Sehun yang terdengar melalui speaker ponsel. Gemeletuk giginya dapat kutangkap dengan indra pendengaranku secara samar. Perasaan takut mulai menggerogotiku perlahan.

Ia marah. Sehun pasti marah. Ia pasti marah padaku. Pasti.

Baru saja aku hendak membuka mulut lagi, Sehun sudah memotong.

Tunggu sebentar, Haera. Aku akan segera pulang.

 .

 .

Aku terduduk diam di sofa tengah. Kedua lututku kupeluk erat. Kutenggelamkan wajahku di celah-celahnya. Sudah sedari tadi aku menangis tak berhenti—sampai sekarang bahkan air mataku masih saja mengalir di pipi meskipun tidak separah sebelumnya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan Sehun belum juga datang. Aku takut. Sungguh.

Kuambil ponselku di meja dan mencoba menghubunginya lagi. Nihil. Nada sambungnya berubah menjadi mailbox, menandakan ponselnya sudah mati. Aku kembali bergelung di sofa. Kuusap kasar mataku yang mulai terasa perih. Sehun pasti marah padaku. Sialan. Aku memukul-mukul bantal dengan kasar. Lama-kelamaan ini membuatku kesal.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku ketika kembali memikirkan tentang masa depan dan bagaimana kelanjutan dari semua ini. Mataku berkunang-kunang, dan kurasa aku mulai menggigil. Kusentuh rambutku dan menjambaknya pelan. Kuacak-acak rambutku dengan frustasi. Semua ini benar-benar di luar dugaan.

Seharusnya aku menghentikannya sedari awal, mengingatkannya akan hal kecil namun sangatlah penting itu. Ini salahku. Benar-benar salahku.

Tidak sampai sepuluh menit kemudian, terdengar suara ketukan di pintu. Aku menoleh cepat. Itu pasti Sehun. Aku bangkit dari tempat dudukku dan berlari keluar, membukakannya pintu.

Saat pintu itu berdecit pelan, sesosok laki-laki sudah berdiri di hadapanku. Wajahnya terlihat letih, bercampur dengan rasa khawatir. Ia memandangku dengan mata membulat. Melihatnya seperti itu, tubuhku berguncang. Mataku memanas, dan akhirnya aku menangis lagi. Aku tidak sanggup melihat ekspresinya. Benar-benar menyakitkan.

Sehun terdiam kaku—sebelum akhirnya tanpa berkata-kata lagi, ia segera memelukku erat. Tangannya melingkar di balik leherku. Ia memelukku begitu erat seperti tidak mau melepaskannya lagi.

“Sehun.” Aku terisak keras. “Sehunnie.”

I’m here, sweetie.” Ia berbisik pelan. “Sudah, hentikan tangismu itu.”

Bukannya berhenti, aku malah menangis lebih keras.

Sehun kembali diam, meskipun tangannya tak henti-hentinya mengelus punggungku. Tanganku ikut bergerak, menyentuh ujung bajunya perlahan, meremasnya dan ikut membalas pelukannya. Tak berapa lama kemudian, tangisku mulai melambat. Yang bisa kulakukan akhirnya hanyalah menangis tertahan dalam diam di dadanya. Dada Sehun begitu lebar, dan hangat. Aku merasa aman di pelukannya. Ini Sehunku.

“Kau…tidak kenapa-kenapa, kan?” Sehun bertanya khawatir, ia merunduk sedikit menyamakan tingginya denganku. Ditatapnya dalam kedua mataku dan tangannya bergerak menyapu air mata yang meleleh dari ujung mataku. “Jangan menangis lagi.”

“Sehun, aku—”

“Sudahlah.” Sehun memelukku lagi. “Tidak apa-apa.” Diacak-acaknya rambutku dengan sentuhan ringan.

Ia lalu menggandeng tanganku dan mengajakku masuk ke ruang tengah. Kami duduk di sofa, berhadap-hadapan. Sehun terdiam, begitu pula aku. Kami sibuk berada dalam alam pikiran masing-masing. Memikirkan berbagai kemungkinan ke depannya.

“Sehun, dengarkan aku.”

Kusentuh lagi pundaknya. Sehun mendongak, menatap langsung ke mataku. Ia kembali memandangku dengan tatapannya yang teduh.

“Oh Sehun.” Aku memanggil namanya. Ia mengangguk paham. “Ini kesalahan. Tepatnya kesalahanku.”

“Tidak.” Sehun membalas tegas. “Tidak ada yang perlu dimaafkan dan ini bukan kesalahanmu. Berhenti berkata seperti itu, Haera. Aku benar-benar tidak suka mendengarnya.”

“Tapi..”

“Berhenti.” Ia menyentuh bibirku dengan jemari telunjuknya. Aku menepisnya dengan cepat.

“Dengarkan aku dulu. Oke? Sehun, dengar. Aku punya saran.” Aku menahan napas. “…Bagaimana kalau kita gugurkan saja..? Ini..”

Di sela-sela kepanikan yang mendera, tiba-tiba mulutku mengeluarkan kalimat itu begitu saja. Jeda keheningan sekitar semenit menyadarkanku tentang apa yang barusan kukatakan. Badanku kembali bergetar hebat.

Apa-apaan ini?

Perlahan aku menengadahkan kepala, menatap dalam-dalam wajah Sehun yang berjarak hanya beberapa inci dariku. Mendengar kalimat spontanku barusan, tiba-tiba kedua mata Sehun membulat. Ia terlihat terkejut. Sangat amat terkejut, tepatnya.

“Haera!” Sehun mendesis, memandangku tidak percaya. “Apa kau sadar yang kau katakan itu—”

“Aku…serius.” Aku memotongnya dan entah keberanian darimana, aku memandangnya tajam. “Ini kesalahan.”

“Berhenti mengatakan hal seperti itu.” Sehun balas memandangku tak kalah dingin. Nada suaranya mengancam, begitu serius dan mematikan. Pandangan matanya penuh dengan..entahlah, aku tidak tahu. Tapi sepertinya itu sorot mata penuh kekecewaan.

“Kau tidak tahu apa yang kau ucapkan barusan lebih buruk, BENAR-BENAR LEBIH BURUK dari semua yang kau sebut ‘kesalahan’, kau tahu?” Kini suaranya semakin meninggi.

“Tapi kita sudah berkomitmen—”

“Masalah itu, ini kelalaian kita berdua.” Sehun tetap memasang wajah datarnya yang benar-benar membuat dadaku terasa sakit sekali, entah kenapa. Sudah lama aku tidak melihat wajahnya yang kosong tanpa ekspresi itu.

Baru aku sadari, apa yang kukatakan benar-benar pikiran terburuk yang pernah terlintas di benakku. Kedua manik mata laki-laki di hadapanku ini berhasil menyadarkanku akan hal itu, karena sorot matanya menunjukkan sesuatu yang membuatku merasa aku benar-benar telah melakukan kesalahan.

Ya Tuhan, aku memikirkan tentang kesempatan membunuh janinku sendiri. Membunuh. Aku akan menjadi seorang pembunuh.

Mataku ikut membulat. Badanku masih tidak stabil, bergetar hebat tanpa bisa berhenti. Rasa takut dalam diriku semakin bertumbuh, seiring pandangan Sehun yang mulai beralih dari wajahku. Ia merebahkan diri ke sofa dan menghembuskan nafas keras-keras, terlihat depresi.

“Berhenti memikirkan hal mengerikan seperti itu, Haera.” Ia mulai membuka suara sambil tetap menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Aku hanya tidak mau membuatmu menyesal seumur hidup.”

Mendengar kalimatnya, sontak aku menangis lagi.

Hari ini aku sudah terlalu banyak menangis.

SEHUN

Bohong jika kukatakan aku tidak terkejut.

Saat mendengar kabar dari Haera bahwa ia hamil, aku tidak bisa merespon apapun. Perasaan takut mengembang di dadaku. Ini diluar perkiraan kami. Kelalaianku dan Haera yang melakukannya tanpa memakai pengaman apapun.

 

Ini sebuah kesalahan, begitu pikirku di awal.

Dengan sigap aku mengambil jasku yang kugantung dan memakainya cepat. Kemudian aku turun ke tempatku memakirkan mobil dan segera menancap gas untuk pulang. Aku menyetir dengan kecepatan penuh. Malam seperti ini, Jalanan Seoul selalu macet. Tepat di pemberhentian lampu merah, otakku kembali memutar kenangan di masa lalu.

“Kita tidak boleh punya anak dulu.” Haera berkata sambil memandangku dalam-dalam di suatu sore yang tenang. Aku balas memandangnya dengan tatapan bertanya-tanya.

“Kenapa?”

“Kita akan sibuk dengan karir kita masing-masing, Sehuna.” Haera menjawab. “Kau sedang berada di puncak, sementara aku sedang sibuk mengurus perkembangan perusahaanku. Kita sama-sama sibuk. Kita tidak boleh punya anak dulu. Semuanya akan terbengkalai jika kita punya anak.” Ia menjelaskan panjang lebar. “Aku tidak mau dia nanti akan kekurangan perhatian.”

Mendengar alasannya, aku hanya bisa mengangguk memahami. Menurutku itu masuk akal.

“Jadi?”

“Mungkin sekitar tiga atau empat tahun lagi.” Haera berkata pelan. “Dan tenang saja, kita masih muda.”

“Kurasa, ya. Kau benar.” Aku tersenyum. “Mungkin aku akan siap bertemu Haera atau Sehun junior tiga atau empat tahun lagi.”

Pipi Haera bersemu.

“Kuharap kau dan aku akan siap bertemu mereka nanti di waktu yang tepat.” Haera tergelak. “Yang harus kita lakukan adalah fokus dulu dalam karir kita. Setelah semuanya, beres. Baru kita akan memikirkan tentang anak.”

Semuanya berjalan baik-baik saja sesuai rencana. Sampai hari ini. Sampai berita ini sampai di telingaku.

Aku mengetuk-ngetukkan jari dengan tidak sabar di setir mobil. Sudah jam setengah sepuluh malam dan mobil ini tidak juga bergerak, berhenti di tempat. Beberapa kali aku menekan bel dengan tidak sabar. Segera kuambil ponsel di saku, dan saat itu juga aku baru menyadari baterainya habis tak bersisa. Ponselku mati total tanpa sempat mengabari pada Haera bahwa aku terjebak macet.

Aku kembali memikirkan perasaan istriku yang pasti sangat terkejut dengan kabar tiba-tiba ini. Dari semuanya—antara dia dan aku, dialah yang pasti akan lebih terpukul. Ia tidak mengharapkan hal ini. Karirnya sedang berada di puncak menuju kesuksesan, dan ia harus menelan fakta bahwa ia sekarang hamil.

Hamil.

Menyadari aku akan menjadi seorang ayah membuatku bergidik. Aku tidak siap. Jujur aku belum siap. Aku bukanlah laki-laki yang baik. Tidak bisa kubayangkan bagaimana cara merawat anak. Tidak, aku tidak memiliki bayangan sama sekali tentang itu. Menyeramkan, bahkan hanya dengan membayangkan saja aku tidak sanggup.

Kemacetan lama-kelamaan semakin berkurang dan jalanan Seoul mulai kembali lancar. Aku menyetir mobil dengan mulus menuju apartemen kami. Jam di tanganku menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit. Tidak lama lagi aku akan sampai.

Ini dia gerbang masuk gedung apartemen kami. Segera kuparkir mobilku di basement dan keluar dengan tergesa, agak sedikit berlari. Aku dikejar waktu. Aku menunggu di depan lift dengan tidak sabar. Saat pintu terbuka, kontan aku masuk begitu saja. Kemudian kutekan angka tujuh di serangkaian tombol yang berada di sisi kiri dan mulai merasakan lift bergerak naik. Aku tidak memperhatikan siapapun yang berada bersamaku di dalam sini. Malam sudah terlalu larut dan aku bahkan belum bertemu Haera. Entahlah bagaimana keadaannya sekarang.

Sesampainya di depan pintu apartemen, aku mengetuk pintunya beberapa kali, memberi tanda bahwa aku sudah pulang. Terdengar langkah satu demi satu mendekati pintu. Saat pintu berdecit pelan, sesosok perempuan mungil keluar. Matanya memerah, sembab bekas menangis. Wajahnya terlihat begitu mengkhawatirkan. Rambutnya acak-acakan dan ia terlihat menyedihkan, benar-benar menyedihkan. Raut wajah orang depresi menggelayut sempurna di wajahnya.

 

Haera?

Melihatnya seperti ini, tiba-tiba dadaku terasa sakit. Ia terlihat begitu rapuh dan lemah. Aku serasa dibangunkan oleh kenyataan bahwa tidak hanya aku yang terpukul, Haera pasti lebih parah dariku. Melihatnya menangis membuatku merasa menjadi laki-laki paling buruk sedunia. Aku membuatnya menangis. Ini memalukan. Seorang Oh Sehun tidak seharusnya membuat perempuan menangis.

Aku terdiam sesaat, sampai semua refleks di tubuhku seperti protes. Karenanya, tanpa kusadari aku sudah menarik tubuhnya yang mungil ke pelukanku. Kudekap ia erat-erat. Berusaha menenangkan tangisnya yang tak kunjung berhenti—malah semakin hebat. Ia balas memelukku seperti tidak mau kehilangan. Aku mengelus rambutnya pelan, sementara Haera berkali-kali meminta maaf.

Kuusap air mata yang mengalir di pipinya dengan sentuhan lembut.

Kutarik tangannya ke sofa di ruang tengah. Aku berusaha menenangkannya, memberinya semangat sekaligus berusaha menenangkan diriku sendiri.

Semuanya akan baik-baik saja. Paling tidak ini yang sudah kuyakini sejauh ini.

Sampai ia mengatakan sesuatu yang membuatku terhenyak kaget.

“Bagaimana kalau kita gugurkan saja..? Ini..”

Mendengar kalimat spontan yang keluar dari mulutnya membuatku terperangah. Mataku membulat memandangnya dengan tatapan tidak percaya. Tiba-tiba sebuah perasaan aneh menelusup masuk ke dalam diriku. Tidak. Itu benar-benar sebuah ide yang terburuk dari semua yang paling buruk. Dia akan menjadi pembunuh jika menggugurkan janin itu.

Apa dia bercanda? Ini tidak lucu. Ini bukan situasi main-main.

Saat aku membantah idenya yang gila itu, dia memotongku dan memandangku dengan tatapan tajam.

“Aku serius, ini kesalahan.”

Ya Tuhan, dia benar-benar serius.

Rasa kecewa mulai menjalar memenuhi setiap inci dari tubuh dan otakku. Ia bahkan tidak ingin mempertahankannya. Aku tidak tahu mengapa, tapi otak dan hatiku benar-benar menolak keras. Aku tidak setuju, dan tidak akan pernah setuju.

“Berhenti mengatakan hal seperti itu. Sungguh. Kau tidak tahu apa yang kau ucapkan barusan lebih buruk, BENAR-BENAR LEBIH BURUK dari semua yang kau sebut ‘kesalahan’, kau tahu?”

Aku marah. Benar-benar marah.

Haera mulai membuka mulut, berusaha mengatakan perlawanannya sekali lagi. Mendengar semua alasannya, aku mulai lelah. Aku memotong kalimatnya balik dengan tegas dan mengatakan semua yang ada di otakku dengan spontan. Ia terdiam. Sepertinya ia ingin menangis lagi. Entahlah, aku tidak tahu.

Aku ingin dia menyadari apa yang ia pikirkan itu salah. Salah besar.

Kurebahkan tubuhku di sofa sambil menutupi wajahku dengan kedua tangan. Rasanya aku ingin berteriak padanya, berteriak mengatakan bahwa aku sangat menyayanginya dan kini aku benar-benar kecewa padanya. Sangat amat kecewa. Tapi aku tidak akan melakukannya, itu akan menyakiti perasaan Haera. Ia sedang dalam keadaan tidak stabil saat ini.

Yang bisa kulakukan hanyalah mengeluarkan geraman pelan dan menghembuskan napas panjang. Berusaha mengekspresikan rasa kesalku.

“Berhenti memikirkan hal mengerikan seperti itu, Haera.” Aku mulai membuka suara. Mungkin karena kemarahanku yang mencapai puncak, aku bahkan tidak mau menatap wajahnya secara langsung saat mengatakan hal ini.

“Aku hanya tidak mau membuatmu menyesal seumur hidup.”

Terdengar suara isakan dari sampingku.

Sampai aku tidak menyadari setitik air mata ternyata sudah ikut jatuh melewati pipiku.

 .

.

Ruangan itu bercat putih bersih, begitu minimalis dipadukan dengan bau obat-obatan menyengat serta parfum ruangan yang bercampur menjadi satu. Disinilah kami sekarang, duduk berhadap-hadapan dengan seorang dokter yang memandang kami dengan tatapan sumringah, berkebalikan seratus delapan puluh derajat dengan ekspresi kami.

“Selamat, nyonya Oh! Bayi di kandunganmu sudah berumur sekitar dua minggu sekarang.” Dokter dengan name tag bertuliskan Myungsoo berucap ramah. Kemudian ia mengalihkan pandangan dari Haera menuju ke arahku. Diulurkannya tangan tepat di hadapanku.

“Selamat juga untukmu, Sir. Berbahagialah karena kau akan segera menjadi ayah.” Ia menjabat tanganku kuat-kuat, menggoyang-goyangkannya semangat. Aku tersenyum paksa, kemudian melirikkan ujung mataku ke arah Haera yang sedang duduk diam di sampingku. Tatapan matanya kosong. Berkali-kali ia menghela napas panjang. Aku tahu ia sedang syok, karena yang ia alami ternyata benar-benar nyata. Ia hamil. Benar-benar hamil.

Haera meremas ujung kemejanya sampai kusut. Disisihkannya rambut yang menggantung di pelipis ke belakang telinganya. Kentara sekali ia sedang berusaha menenangkan dirinya sendiri. Aku kembali memandang dokter di hadapanku yang sepertinya mulai kebingungan dengan respon kami yang hanya diam sedari tadi.

“Jadi, dokter.” Aku memulai pembicaraan. Kutegakkan sandaran dudukku dan berusaha tersenyum. “Apakah ada tips yang bisa kami lakukan di masa-masa awal seperti ini?”

Dokter Myungsoo menghela napas lega mendengar pertanyaanku. Kemudian ia memakai kacamata beningnya dan balas menatapku dengan pandangan ramahnya yang tidak berubah.

“Ah, masalah itu.” Ia tersenyum lebar. “Nyonya Haera akan sering mengalami morning sickness, itu hal biasa dalam awal-awal kehamilan seperti ini. Yang perlu ia lakukan hanyalah menjaga pola makannya, jangan terlalu banyak dan jangan juga terlalu sedikit. Sesuaikan porsinya agar tidak memicu rasa mual.” Ia memulai nasihatnya. Aku berusaha mendengarkannya baik-baik. Haera hanya diam, tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya duduk.

“Untuk meredakan rasa mual, cukup meminum teh hangat saja. Jangan makan makanan pedas, asam dan semacamnya. Tidak baik untuknya.” Dokter itu melanjutkan. “Nyonya Haera juga harus meminum air putih yang banyak, dan susu rendah lemak atau jus buah untuk mengganti cairan yang keluar saat muntah. Perbanyak makanan yang mengandung vitamin B5 juga.” Dokter Myungsoo mengangguk menenangkan. Haera tetap memasang wajah datarnya. Sepertinya pikirannya sedang tidak berada disini. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu sampai-sampai aku harus memegang tangannya untuk menyadarkannya kembali. Ia menoleh saat merasakan genggamanku. Pandangannya terlihat…sedih.

“Awal-awal memang masa yang paling berat, bagimu dan juga bagi istrimu. Tapi tenang, semua akan baik-baik saja. Itu pasti.” Dokter Myungsoo akhirnya menyelesaikan kalimatnya. “Sekali lagi selamat untuk kalian berdua!”

Hening.

Aku kembali berusaha tersenyum dan mengangguk paham. Tiba-tiba ada perasaan aneh yang mengatakan padaku bahwa aku harus melindungi janin Haera apapun konsekuensinya. Aku bertanggung jawab atas itu, dan konsultasi kami dengan dokter ini yang menyadarkanku.

Aku akan segera menjadi seorang ayah.

Kugandeng tangan Haera dan mengajaknya bangkit dari tempat duduk. Aku menganggukkan kepala, mengucapkan terimakasih berkali-kali pada Dokter Myungsoo dan berpamitan sebelum kami melangkah keluar dari ruang prakteknya.

“Sekali lagi, terimakasih banyak dokter.”

“Sering-seringlah bertanya kalau ada masalah, oke?” Ia menepuk pundakku bersahabat. “Jagalah istrimu baik-baik. Selamat siang!”

Lalu kami berlalu dari Rumah Sakit itu.

Aku membukakan pintu mobilku untuk Haera dan menyuruhnya masuk, tetapi Haera hanya diam terpaku di tempat sambil menundukkan kepalanya. Kupandangi wajahnya dalam-dalam. Kedua tanganku spontan bergerak menangkup kedua pipinya, menaikkan dagunya agar ia balas menatap mataku.

“Ya, Haera.” Aku memanggil namanya. Ia tidak merespon. Matanya berkaca-kaca. “Haera. Tolong, Haera, lihat aku.”

Ia memutar bola matanya, balas memandangku.

“Apa kau baik-baik saja?” Tanyaku. Nada suaraku terdengar amat khawatir.

“Tidak.” Ia menjawab lemah. Kejujuran itu ternyata masih dipegangnya kuat, salah satu kelebihannya yang terus kukagumi sampai saat ini. Kemudian ia tersenyum lemah. “Aku takut.”

Aku menariknya ke dekapanku. Kuusap punggungnya dengan lembut, berusaha menenangkannya. Kucium harum rambutnya yang mulai menggelitik hidungku. Ia tidak balas memelukku seperti biasanya. Namun matanya terpejam. Terlihat jelas, Haera benar-benar sedang terpukul.

“Tenang saja.” Aku berkata lirih. “Semua akan baik-baik saja. Pasti.”

Ia tetap diam.

“Haruskah aku mengatakan tentang kabar ini ke orangtuamu dan orangtuaku?” Aku bertanya lagi, yang langsung dijawab dengan gelengan keras.

“Tidak, tidak. Nanti saja.”

“Baiklah.” Aku memaklumi. “Ayo masuklah ke dalam mobil.” Kulepas dekapanku dan kembali menuntunnya masuk ke jok. Kemudian aku menutup pintunya pelan dan kembali ke kursi pengemudi. Kupakaikan ia sabuk pengamannya dan menatapnya untuk yang kedua kalinya.

“Berhentilah menyesali diri, Haera.” Aku menepuk kepalanya pelan. “Ini bukan salahmu. Bukan salah siapa-siapa.”

Haera tidak menjawab. Ia kembali memejamkan matanya. Ia tidak ingin diganggu.

“Sekarang, aku akan pergi ke supermarket untuk membeli susu untukmu.” Aku berkata lagi. “Kau harus menjaga kesehatanmu baik-baik, Haera. Aku tidak mau kau sakit. ”

Haera tidak bergerak seincipun dari tempatnya duduk. Respon yang kudapat hanyalah anggukan samar. Kemudian setelah beberapa detik kemudian, kepalanya terangguk perlahan.

Aku menghembuskan napas lega. Paling tidak ia sudah tenang sekarang.

Pagi ini aku membuka mataku pelan dan langsung menyipitkannya. Aku berusaha beradaptasi dengan cahaya yang menerobos masuk lewat jendela dengan mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali. Sesaat setelahnya, baru saja kusadari Haera sudah tidak lagi ada di sampingku. Aku terbangun dan spontan bangkit dari kasur untuk mencari dimana dirinya. Perasaanku membuncah, bercampur dengan rasa takut dan cemas.

“Haera?” Aku memanggil namanya keras-keras. “Haera kau dimana?”

Tidak ada jawaban.

“Haera??”

Dadaku berdegup kencang, aku berlari ke arah dapur dan mendapati tidak ada sosoknya disana. Aku membuka semua ruangan dan ia tetap tidak ada dimanapun. Sampai akhirnya aku mendengar suara derap langkah kaki tepat di belakangku saat aku membuka kamar ketiga di apartemen kami.

“Sehun?” Suaranya memanggil namaku. Aku menolehkan kepala cepat saat menyadari Haera sudah berada tepat di hadapanku dengan setelan baju kerjanya lengkap dengan sepatu dan tas yang sudah ia sampirkan di lengan. “Ada apa?”

Aku berlari mendekat ke arahnya. Kusentuh wajahnya, memastikan.

“Kau tidak apa-apa?” Aku bertanya cepat. “Kau tidak terluka kan?”

“Apa kau habis mimpi buruk?” Ia membalas dengan terkekeh. “Apakah kau bermimpi buruk tentangku?”

“Kau bodoh.” Aku mundur selangkah, rasanya lega sekali sampai-sampai lututku terasa lemas. Melihatnya ternyata dalam keadaan yang baik-baik saja membuatku dilanda rasa bahagia. “Kukira kau kenapa-kenapa.”

“Aku baik-baik saja.” Ia melangkah melewatiku dan duduk di sofa. Tangannya memegang remote dan menyalakan televisi dengan tenang. “Mandilah, aku akan menunggumu disini.”

“Apa kau mau..bekerja?” Aku bertanya bingung. Kulangkahkan kaki mendekat kembali ke arahnya, dan duduk tepat di sebelahnya. Ia mengangguk mengiyakan.

“Tentu saja, Sehuna.” Ia berkata pelan. “Aku harus bekerja.”

“Kau kan sedang—” Sebelum aku menyelesaikan kalimatnya. Haera kembali mendorong dadaku dan tersenyum menenangkan.

“Tidak apa, mandilah. Cepat. Aku hitung lima menit dari sekarang.” Ia menyunggingkan bibirnya dan memandangku dengan tatapan menggoda. “Satu, dua, tiga. Mulai!”

“Tidak, tidak.” Aku memandangnya tegas. “Jangan mengalihkan pembicaraan. Kau tidak boleh terlalu capek, Haera.”

“Sudahlah, Oh Sehun.” Ia menimpali. “Aku tidak apa-apa dan aku ingin bekerja. Selesai kan?” Ia menjawab dengan nada tak kalah tinggi. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah televisi dengan kesal. “Berhentilah bertingkah seperti ini.”

“Aku hanya khawatir.” Aku menggumam pelan. “Aku takut kau sakit.”

“Aku akan sakit jika kau seperti ini terus.” Haera berkata dingin tanpa menolehkan kepalanya sama sekali. “Cepatlah bersiap.” Ia menyelesaikan kalimatnya dan menyenderkan tubuhnya di sofa. “Aku tidak mau mendengar apapun.”

Aku mau tidak mau segera bangkit dari kursiku dan menghela napas panjang. Haera berubah. Mungkin hormonnya sedang naik turun saat ini. Aku berusaha memaklumi.

Memang ia butuh waktu untuk mengerti.

HAERA

 

Hari ini tepat sebulan sejak dokter bernama Myungsoo itu mengumumkan bahwa ada bayi di dalam perutku. Benar-benar seorang bayi yang bahkan bisa kurasakan sesekali detak jantungnya di perutku. Aku memandang layar laptop dengan pandangan kesal. Hari ini rasanya sulit sekali berkonsentrasi. Pikiranku melayang ke mana-mana. Ke Sehun, ke orang tuaku, ke perkataan Dokter Myungsoo. Semuanya.

Terkadang aku lupa bahwa aku hamil. Urusan pekerjaan dapat membuatku lupa semua hal penting, sepertinya.

Cara Sehun mengingatkanku adalah seperti kemarin.

 

Ia tiba-tiba datang ke ruanganku siang hari, tepat ditengah-tengah jam kerja.

“Haera-ya!” Ia memandangku sumringah. Aku mengalihkan pandanganku dari berkas yang kupegang di tangan dan balik tersenyum, sedikit terkejut.

“Halo, Sehuna. Tumben kau datang jam segini?”

“Aku kan kangen padamu.” Ia mengerucutkan bibirnya. Aku tertawa melihatnya yang berusaha menarik perhatianku dengan aegyo-nya yang ampuh itu. Kulangkahkan kaki mendekat ke arahnya dan menepuk-nepuk kepalanya lembut.

“Aigoo, berhentilah menggodaku dengan aegyo-mu itu, Sehuna.”

“Aku membawakanmu makanan.” Ia tersenyum dan menyodorkan padaku sebuah bungkusan cokelat yang entah apa isinya.

Aku mengambilnya dengan semangat dan balik menatapnya. “Terimakasih, ya?” Kupandangi wajahnya dengan tatapan lucu.

“Everything for you.” Ia membungkukkan badan seperti seorang pangeran pada putrinya. Aku tertawa lagi. Kemudian tanpa kusangka, ia melangkah semakin mendekat ke arahku. Dibungkukkannya badannya dan tiba-tiba ia mengusap perutku perlahan. Aku tergagap, tidak tahu harus berbuat apa. Mulutku terbuka, kaget.

“Hei, kiddo.” Sehun tersenyum, seperti berbicara pada perutku. “Ini ayahmu. Kita akan bertemu lagi delapan bulan ke depan. Baik-baik disana, ya.” Ia berkata dengan penuh rasa sayang. Aku menutup mulutku, tidak tahu harus berbuat apa.

 

Sehun benar-benar mengingatkanku akan sebuah nyawa yang kini tinggal bersamaku dalam tubuhku ini.

 

“Jangan terlalu giat bekerja, Haera.” Ia kembali menegakkan tubuhnya dan memandangku khawatir. “Akhir-akhir ini kau selalu lembur. Beristirahatlah sedikit. Ia juga butuh istirahat.” Sehun menunjuk perutku dengan tersenyum. “Ingatlah, kau tidak sendirian.”

Aku menelan ludah dengan gugup. Sial.

“Yah kurasa begitu.” Aku menjawab cepat. Kemudian aku melihat jam tanganku lagi dan kembali berkata padanya.

“Ya, Oh Sehun. Kembalilah ke kantor, sepertinya kau tidak boleh terlalu lama berada di sini. Kau harus bekerja.” Aku tersenyum memaksa. Kemudian kudorong punggungnya menjauh. Ia terlihat bingung, tetapi kemudian raut wajahnya berganti menjadi cerah kembali.

“Ah iya, aku masih ada tugas yang harus kukerjakan. Sampai bertemu nanti, Haera!” Ia mencium pipiku pelan dan melenggang keluar dari ruanganku dengan santai. “Beristirahatlah yang cukup dan jangan lupa makan!” Kemudian ia menutup pintu pelan-pelan.

Aku kembali ke meja kerjaku dan menelungkupkan kepalaku di meja.

Sial, aku benar-benar lupa. Sehun selalu saja seperti itu. Aku mendesah.

 

Kilasan balik itu berputar seperti film dokumenter di kepalaku. Aku menggeleng-gelengkan kepala dan berusaha fokus pada layar yang berada di hadapanku sampai tiba-tiba kurasakan kepalaku berputar hebat. Aku memijit-mijit pelipisku, berusaha meredakan pusing yang mendera. Tidak bertambah baik, karena semua yang kulakukan hanya memperparah rasa sakitnya.

Rasanya perutku bergejolak dan aku mulai merasakan mual yang amat sangat. Aku melangkah terhuyung mendekat ke kamar mandi, memuntahkan semua makanan di wastafel. Badanku berkeringat dingin. Kuambil ponselku dan menekan speed dial nomor satu, Oh Sehun. Terdengar suara nada sambung beberapa kali.

Halo, Haera?” Suaranya sampai ke telingaku. Aku memegangi perutku dengan raut wajah kesakitan. Aku bahkan tidak sanggup berbicara. Kemudian aku terbatuk sedikit.

Halo, halo?” Ia kembali memanggil. “Apa kau baik-baik saja? Halo? Haera?!”

Aku berusaha keras membuka mulutku.

“Se-sehuna.” Setiap kata yang kuucapkan membuatku seperti merasakan ada satu jarum yang ditusukkan di kepalaku. “A-aku..”

Ya! Haera!”

Tiba-tiba lututku terasa begitu goyah. Aku limbung, kemudian tanpa kusadari lama kelamaan kesadaranku mulai hilang. Semuanya terasa gelap.

Terdengar suara ponsel terjatuh keras di lantai, layarnya masih menyala—menampilkan nama Oh Sehun disana. Semua itu menandakan bahwa sambungan teleponnya tidak terputus.

Kesadaranku hilang sepenuhnya.

Haera! Haera!!”

Tetap tidak ada jawaban.

Haera, aku kesana sekarang.” Kemudian sambungan telepon terputus.

Ruangan ini begitu hening, menyisakan sosokku yang terbujur di lantai dengan keringat dingin yang menetes deras di pelipisku.

Serta ponsel yang layarnya sudah mati.

to be continued.

9 thoughts on “HEIR & HEIRESS: Godsend (part 2)

  1. first?OH GOD AUTHOR SO THAT’S THE REASON WHY THEY DIDN’T WANT TO HAVE A BABY. pls itu bukan ide buruk yaallah itu anak sehun ANAKNYA SEHUN DI DALAM PERUT LU WOY astaga haera mau pake aborsi segala lagi. harus segera ada part 3 nya dan orang tua mereka HARUS tau kalo si haera hamil! sehun jangan lama-lama datengnya kasian itu istri lu pingsan di toilet yaelah ngapain pula ngotot kerja. fighting ya thor

  2. Ya ampun haera, tegaaa banget mw gugurin kandungannya. Itu anugrah, kalo beneran ampe digugurin mah bener2 keterlaluan tuh haera..
    Sehun cepatlah datang, tar kenapa2 lg tuh haera..

  3. And finally aku bisa komen. Aaaakk enggak tau udah berapa puluh kali aku nengok-nengok blog ini dan akhirnya dipost juga part 2nya. maaf baru bisa komen, aku sibuk akhir-akhir ini*ngga nanya
    aku suka sama part ini, tapi sayangnya kurang greget gitu haera sama Sehunnya. enggak kaya part sebelumnya. atau kaya ff oneshoot atau vittage nya, enggak tau kenapa, tapi ini menurut aku sih hehehe
    overall aku suka. pake BANGET, next part aku harap lebih greget dari part ini, always ditunggu ^^

  4. Kebawa alurnya jadi ikut ngerasain tegang, khawatir, sedih (?) bercampur menjadi satu wkwkwk
    Suka sama tokoh dikternya yang tetap memberikan semangat dan kebingungan saat menerima reaksi dari sehun-haera LOL
    ‘Pikiranku melayang ke mana-mana. Ke Sehun, ke orang tuaku, ke perkataan Dokter Myungsoo. Semuanya’ aku kerang sreg sama kata-katanya eon, kayanya lebih enak pake pada jadi ‘Pikiranku melayang ke mana-mana. Pada Sehun, pada orang tuaku, pada perkataan Dokter Myungsoo. Semuanya’ sudut pandang aku sih enaknya gitu eon hehehehe

  5. Suka bgt part yg ini, bikin penasaran trus bkin dag dig dug juga. Over all part ini bagus bgt. Gk sbar nungguin next part-nya. (y) 😀

Leave a comment