[Ficlet] Moon’s Bite

large (1)

Written by beautywolf

Cast: Chanyeol (EXO) Length: 600+words, Ficlet Genre: Fantasy-Myst, Slight! Rati

ng: PG-15

Plot&Storyline original by beautywolfff®

***

Southwell, 1931

“Aku hanya membawa beberapa kilo Nyonya, panennya tidak berhasil” ujarku, sambil meletakkan sekantung besar ubi jalar dihadapan seorang wanita dermawan yang selalu membeli ubi jalar dari kebunku. “Aku doakan semuanya berjalan lancar pada panenmu selanjutnya, bekerja keraslah” pesan Nyonya Kaffanagh, memberiku kantung kecil dari kain berisi uang. Ia menepuk pundakku sebelum pergi, menghampiri kereta kuda yang sudah menantinya. Meninggalkanku dengan pesuruhnya yang baru saja mengambil kantung besar ubi jalar itu dan meletakkannya dibagian belakang kereta.

Mengelap peluh dari kening, aku meninggalkan jalanan tempatku menjual ubi dan kembali pulang. Badanku kotor, dan aku bau. Menyusuri jalanan aspal yang menjorok ini, aku melepaskan kemeja usang yang sudah belepotan tanah, menyisakanku dengan kaus yang tak jauh berbeda nasibnya. Aku berhenti sejenak dan mendongak. Sang raja langit pergi hendak pulang ke barat meninggalkan biru pada gelap. Angin sore pada musim gugur memang menyegarkan. Menghirupnya, mengisi paru-paruku banyak dengan campuran oksigen dan nitrogen yang tak aku mengerti sambil memejamkan mata. Merasakannya memenuhi seluruh bagian tubuhku.

.

.

Langit sudah semakin gelap saat aku sampai di jalanan terjal desa tempatku menetap, kobaran api redup pada tungku lampu minyak menyala di setiap rumah warga. Aku berjalan lambat-lambat, merasakan angin malam yang berhembus menembus kausku, menjilat kulitku dengan dingin yang sensasinya membuat bulu kudukku berdiri. Dan disana aku mendapati wanita itu lagi.

Ia selalu berdiri di situ, di balik pohon oak yang sudah berusia beratus-ratus tahun. Jauh berada dibawah jalan setapak. Ia tak tampak seperti warga di desa ini. Ia wanita yang sangat rupawan. Pakaian yang ia kenakan terlalu mewah untuk dikenakan di desa tempat tinggal buruh dan petani sepertiku. Rambutnya tergerai bebas, berkibar teritup angin dan berkilau oleh temaram bulan. Irisnya hitam layaknya langit malam, kontras dengan kulit pucat bak porselen miliknya.

Aku tidak mengerti, dengan semua keindahan yang ada pada wanita itu, ia tak terlihat bahagia. Wanita itu sendirian. Setiap bulan tergigit malam, menyisakan segaris tipis yang menyala terang diluasnya gelap, wanita itu akan berada disana. Berdiri dengan tatapan sedih yang tak kupahami.

Selama ini aku tak pernah berusaha menjangkaunya, aku tak tahu mengapa. Mungkin karena aku pemuda kucel sedangkan ia wanita mulia. Aku tak punya keberanian untuk menghampirinya dan bertanya ada apa.

Namun hari ini, saat bintang bertabur pelit tak mau berbagi dengan langit malam, aku memberanikan diri menghampirinya. Berjalan lambat-lambat dengan penuh kehati-hatian, aku hendak sampai padanya. Maniknya bersirobok dengan milikku saat tinggal beberapa kaki lagi aku akan menjangkaunya. Sorotnya waspada, ada rasa takut di dalamnya.

“Selamat malam Nyonya” ucapku memberi salam, membungkuk hormat.

“Selamat malam” ia menjawab. Alunan nada yang keluar dari bibir mungil pucat itu bagai lonceng yang bergemerincing. Ada nada waspada pada suaranya, sama seperti pada kedua manik yang kini menatapku dalam.

“Kalau pemuda ini boleh tahu—“

“Hei pemuda Asia!”

Sebelum sempat aku menanyakan maksudku menghampiri wanita rupawan itu, aku mendengar seruan Bibi Presscot memanggilku. Aku kembali berseru kepadanya, “Apa yang bisa kulakukan untukmu Bibi Presscot?”

“Kembalilah ke jalan setapak anak muda! Jauh-jauh dari pohon oak itu!” katanya lagi, ia membawa obor ditangan kanannya.

“Tapi—“

“Cepatlah kembali!”

Tak ada benarnya aku melawan, maka aku mengalah pada Bibi Presscot. Baru saja aku hendak mengucapkan salam perpsisahan pada wanita rupawan itu, dan tiba-tiba saja ia sudah lenyap. Aku tak menemukan ia dimana-mana di setiap sudut pandanganku mencari.

.

.

“Demi semua yang kudus!”

“Aku tidak percaya bahwa Irene masih tinggal di pohon oak itu!”

“Rupanya saja jelita, tapi jantungnya mati! Wanita bengis itu harus dienyahkan!”

“Semalam, Tuan Masen melihat pemuda penjual ubi itu berdiri di dekat pohon oak, pemuda itu tampak tersesat pada kecantikan Irene jelmaan iblis rupawan itu!”

“Kudengar, sebelum sempat Chanyeol mengulurkan tangannya pada Iblis itu, Selene datang menyerukan keselamatan padanya.”

“Apa Tuan Masen melihat rupa Selene?”

“Tidak, ia tak dapat melihat rupa Selene pada gelapnya malam.”

“Pemuda Asia itu selamat.”

“Selene sang penyelamat!”

.

.

Saat aku mendapati wanita rupawan itu kembali di balik pohon oak. Untuk pertama kalinya, wanita itu tersenyum.

Oh sial, rupanya, wanita jelita itu punya gigi taring yang tajam.

-FIN-

Leave a comment